KAIDAH-KAIDAH HUKUM ISLAM
A. Pendahuluan
Untuk menetapkan hukum atas sebuah persoalan yang dihadapi oleh
ummat Islam maka jalan yang ditempuh oleh para ulama untuk menetapkannya
adalah dengan melihatnya dalam al-Qur’an, kalau hal tersebut telah
diatur dalam al-Qur’an, maka ditetapkanlah hukumnya sesuai dengan
ketetapan al-Qur’an
. Dan apabila dalam al-Qur’an tidak ditemukan
hukumnya, maka para ulama mencarinya dalam-Al-Hadis. Apabila dalam
al-Hadis telah diatur, maka para ulama menetapkan hukumnya sesuai dengan
ketentuan al-Hadis. Persoalan baru muncul adalah manakala hukum atas
persoalan tersebut tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan juga dalam
al-Hadis, sebab al-Qur’an dan al-Hadis adalah merupakan sumber hukum
pokok (primer) dalam ketentuan hukum Islam.Dalam menghadapi kondisi yang
seperti ini maka para ulama mencari sumber hukum lain yang dapat
dijadikan patokan dan pegangan dalam memberikan hukum atas persoalan
yang timbul, sebab sebagaimana diketahui bahwa agama Islam itu telah
sempurna dan tidak akan ada lagi penambahan hukum yang bersifat
Syar’iyyah, hanya saja untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang
timbul di kemudian hari telah diberikan rambu-rambu dan
ketentuan-ketentuan lainnya dalam rangka memberikan hukum atas persoalan
baru yang timbul.
Sumber hukum baru sebagaimana dimaksudkan di atas, para ulama
berbeda pendapat dalam menetapkannya. Ada yang berpendapat bahwa apabila
suatu persoalan baru timbul dan itu tidak diatur dalam al-Qur’an dan
al-Hadis, maka dikembalikan kepada Ijma’. Dalam hal kembali kepada Ijma’
ini, para ulama nampaknya sepakat, hanya saja yang disepakati secara
utuh dalam rangka Ijma’ adalah Ijma’ yang bersumber dari al-Qur’an dan
al-Hadis, sedangkan Ijma’ yang bersumber di luar al-Qur’an dan al-Hadis,
terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang setuju dan
ada juga yang tidak setuju. Yang setuju dengan Ijma’ berpendapat bahwa
sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa, “UmmatKu tidak akan
bersepakat dalam hal kesesatan”. Yang tidak setuju dengan Ijma’
berpendapat bahwa Ijma’ itu adalah hasil pemikiran dan pendapat dari
para Ulama, yang namanya hasil pemikiran dan pendapat bisa salah dan
juga bisa benar, oleh karena itu tidak bisa dijadikan sebagai hukum yang
pasti.
Apabila dalam ketiga hal tersebut di atas tidak juga ditemukan maka
para ulama mengembalikannya kepada sumber-sumber hukum yang lain seperti
Qiyas, Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah dan Syar’u man Qablana.
Untuk menetapkan sumber-sumber hukum Islam ini, selain para ulama
berbeda pendapat, mereka (para ulama) juga berbeda pendapat dalam
menetapkan kaidah-kaidahnya. Perbedaan dalam kaidah-kaidah ini secara
otomatis akan menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam bidang produk hukum,
sebab kaidah sangat menentukan produk hukum. Namun satu hal yang pasti
adalah kaidah-kaidah sangat menentukan dan sangat membantu seseorang
dalam mengistimbathkan hukum.
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka penulis merasa
berkepentingan untuk membahas tentang Kaidah-Kaidah Fiqhiyah (Hukum)
sebagai suatu alat bantu dalam mengistimbathkan hukum Islam.
Kaidah-Kaidah ini ditelorkan oleh para ulama-ulama mujtahid pelopor
mazhab-mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam
Hambali dan imam-imam lainnya yang cukup banyak, hanya saja
mazhab-mazhabnya tidak berkembang lagi pada masa sekarang ini. Para
imam-imam ini mempunyai kaidah-kaidah tersendiri di dalam menetapkan
ataupun mengistinbathkan hukum atas suatu persoalan yang timbul.
Pengertian Qaidah Fiqhiyah
Qaidah dalam bahan Indonesia dikenal dengan istilah kaidah (sesuai
dengan judul makalah) yang berarti aturan atau patokan. Secara
terminologis, kaidah mempunyai beberapa arti. Dr. Ahmad Muhammad
Asy-Syafi’i, dalam bukunya Ushul Fiqh Islami menyatakan bahwa kaidah
adalah :
Artinya : Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak.
Sedangkan bagi mayoritas ulama ushul fiqh sebagaimana disebutkan
oleh Drs. H. Muchlis Usman, MA. mendefinisikan kaidah sebagai berikut :
Artinya : Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagian-bagiannya.
Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan
ya’ nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara
etimologi makna fiqh lebih dekat kepada ilmu sebagaimana yang banya
dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari firman Allah :
Artinya : Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama. Dan sabda Nabi Muhammad SAW :
Artinya : Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman agama.
Sedangkan dalam arti istilah sebagaimana disebutkan Al-Jurjani Al-Hanafi, fiqh berarti :
Artinya : Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang amaliyah
yang diambil dari dalil-dalil yang tafshili (terperinci), dan
diistinbathkan lewat ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan.
Dan masih banyak lagi definisi lain yang dikemukan oleh para ulama
tentang definisi daripada fiqh. Dari definisi-definisi tersebut, secara
umum dapat disimpulkan bahwa makna fiqh itu adalah berkisar pada rumusan
sebagai berikut :
1. Fiqh merupakan bahagian dari syari’ah.2. Hukum yang dibahas
mencakup hukum yang amali.3. Obyek hukum pada orang-orang mukallaf.4.
Sumber hukum berdasarkan al-Qur’an atau As-Sunnah atau dalil lain yang
bersumber pada kedua sumber utama tersebut.5. Dilakukan dengan jalan
istinbath atau ijtihad sehingga kebenarannya kondisional dan temporer
adanya.
Dari ulasan tersebut di atas, baik poengertian kaidah maupun
pengertian fiqh, maka yang dimaksud dengan Kaidah Fiqhiyah adalah
sebagaimana dikemukakan oleh Imam Tajuddin As-Subki, sebagai berikut :
Artinya : Suatu perkara yang kulli yang bersesuaian dengan juz’iyah
yang banyak yang daripadanya diketahui hukum-hukum juz’iyat itu.
Ataupun pengertian Kaidah Fiqhiyah itu adalah sebagaimana disebutkan oleh Dr. Mustafa Ahmad Az-Zarqa’ sebagai berikut :
Artinya : Dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang
bersifat mencakup (sebahagian besar bahagian-bahagiannya) dalam bentuk
teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang
mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada peristiwa-peristiwa yang
dapat dimasukkan pada permasalahannya.
Kaidah Fiqhiyah sebagaimana tersebut dalam pembahasan di atas adalah
berfungsi untuk memudahkan para mujtahid atau para fuqoha’ yang ingin
mengistinbathkan hukum yang bersesuaian dengan tujuan syara’ dan
kemaslahatan manusia. Oleh karena itulah maka sangat tepat apabila
pembahasan tentang Kaidah Fiqhiyah ataupun Kaidah Hukum termasuk dalam
pembahasan Filsafat Hukum Islam, sebab Filsafat Hukum Islam adalah
sebuah metode berpikir untuk menetapkan hukum Islam dan sekaligus
mencari jawaban ada apa yang terkandung dibalik hukum Islam itu sendiri.
Selain dikenal adanya istilah Kaidah Fiqh, dikenal juga istilah
Kaidah Ushul Fiqh. Para ulama membedakan pengertian dari kedua istilah
ini, sebab Kaidah Fiqh adalah satu ilmu yang berdiri sendiri pada satu
pihak dan Kaidah Ushul Fiqh juga adalah merupakan satu ilmu yang berdiri
sendiri di lain pihak. Ibnu Taimiyah membedakan di antara kedua ilmu
ini yaitu, Kaidah Ushul Fiqh adalah dalil-dalil yang umum (ad-Dilalatu
al-Ammah), sedangkan Kaidah Fiqh adalah patokan hukum secara umum
(Ibaratu ‘an ahkam al-ammah).
Sejarah Perkembangan
Beberapa peneliti menjelaskan sejarah Kaidah Fiqh dengan menentukan priodisasinya menjadi tiga priode, yaitu :
1. Fase Pertumbuhan dan Pembentukan (1-3 H)
Fase pertumbuhan dan pembentukan ini berlangsung selama tiga abad
lebih, dari zaman kerasulan hingga abad ketiga hijriyah. Priode ini,
dari segi fase sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga dekade
yaitu : Pertama Zaman Nabi Muhammad SAW yang
berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 M / 12 SH-10 H), Kedua Masa
Sahabat yang dimulai sejak wafat Nabi hingga tahun 100 H. dan ketiga
Zaman Tabi’in serta tabi’ttabi’in yang berlangsung selama 250 tahun
(724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H dianggap sebagai zaman kejumudan
karena tidak ada lagi pendiri mazhab (351 H/974 M). Ulama pendiri mazhab
terakhir adalah Ibnu Jarir al-Thabari (w.310 H/734 M) yang mendirikan
mazhab Jaririah. Dengan demikian maka ketika fiqh telah mencapai puncak
kejayaannya (keemasan), kaidah fiqh baru dibentuk dan ditumbuhkan. Ciri
Kaidah yang dominan adalah jawamil kalim (kalimatnya ringkas tapi
cakupan maknanya luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama
menetapkan bahwa hadis yang mempunyai ciri tersebut dapat dijadikan
kaidah fiqh . Oleh karena itulah maka priodisasi kaidah fiqh dimulai
sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
2. Fase Perkembangan dan Kodifikasi (4 – X H)
Dalam sejarah hukum Islam, abad ke 4 H. dikenal sebagai zaman
taqlid. Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih pendapat
imam mazhabnya masing-masing. Yang dilakukan ulama pengikut mazhab
adalah ilhaq (melakukan analogi atau qiyas). Menurut Ibnu Khaldun ,
ketika mazhab tiap imam fiqh menjadi ilmu khusus bagi penganutnya dan
tidak ada jalan untuk melakukan ijtihad , ulama melakukan tandzir
(penyamaan) masalah-masalah untuk dihubungkan serta memilahnya ketika
terjadi ketidak jelasan setelah menyederhanakannya kepada dasar-dasar
tertentu dari mazhab mereka. Dengan cara tandzir dan isytibab
(dipilah), fiqh dikembangkan. Kemudian para ulama meletakkan cara-cara
baru dalam bidang ilmu fiqh ini yang disebut dengan al-Qawa’id. Mazhab
Hanafi dikenal sebagai aliran pertama yang memperkenalkan ilmu ini.
Pada abad ke IV Hijriyah telah ada dua kitab Kaidah Fiqh yaitu Ushul
al-Karkhi karya al-Karkhi yang beraliran hukum Hanafi dan Ushul Futiya
yang disusun oleh Muhammad ibnu Harits al-Husyni yang beraliran Maliki.
Sedangkan pada abad ke V hijriyah telah ada pula buku kaidah fiqh yang
berjudul Ta’sis al-Nazhar karya Ibju Zaid al-Dabusi al-Hanafi. Sedangkan
buku abad ke VI hijriyah adalah Idhah al-Qawa’id karya ‘Ala ad-Din
Muhammad ibn Ahmad al-Samarqandi. Puncak perkembangan Kaidah Fiqh adalah
abad ke VII hijriyah dengan terbitnya tiga
buku besar, yaitu Al-Qawa’id fi al-Furu’ al-Syafi’iyyat karya Muhammad
ibnu Ibrahim al-Jajarmi al-Sahlaki (w.613 H); Qawa’id al-Ahkam fi
Mashalih al-Anam karya Izz al-Din ibn Abdu al-Salam (w.660 H);
Al-Mudzhab fi Dhabith Qawa’id al-Mazhab karya Muhammad Ibn Abdullah Ibn
Al-Rasyid al-Bakri al-Qafsi (w.685 H).
3. Fase Kematangan dan Penyempurnaan (XI – H-Kini)
Fase ini hanyalah bersifat pematangan dan penyempurnaan sebab hampir
tidak ditemukan lagi adanya penerbitan buku khusus kecuali hanya
sekedar melakukan pengumpulan dan penyempurnaan saja. Di Indonesia
kaidah fiqh semakin dikenal khususnya setelah menjadi disiplin
tersendiri di Program Pasca sarjana IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun perlu diingat bahwa pelajaran Kaidah
Fiqh adalah merupakan salah satu mata pelajaran khusus di Pondok-Pondok
Pesantren Tradisional dengan Kitab Utama Al-Asybah wa al-Nadza’ir karya
As-Suyuthi.
Kegunaan Kaidah Fiqh
Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibn Abbas Salam menyatakan bahwa Kaidah
Fiqhiyah mempunyai kegunaan sebagai suatu jalan untuk mendapat suatu
kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua
hal tersebut. Sedangkan Al-Qarafi dalam al-Furu’nya menulis bahwa
seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang kepada kaidah
fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil
ijtihadnya banyak bertentangan dan berbeda antara furu-furu’ itu. Dengan
berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’-furu’nya.
Lebih lanjut berbicara tentang kegunaan Kaidah Fiqhiyah ini adalah
sebagaimana disebutkan oleh Ali Ahmad al-Nadwi sebagai berikut :
1. Mempermudah dalam menguasai materi hukum karena kaidah telah
dijadikan patokan yang mencakup banyak persoalan.2. Kaidah membantu
menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan,
karena kaidah dapat mengelompokkan persoalan-persoalan berdasarkan illat
yang dikandungnya.3. Mendidik orang yang berbakat fiqih dalam melakukan
analogi (ilhaq) dan takhrij untuk mengetahui hukum
permasalahan-permasalahan baru.4. Mempermudah orang yang berbakat fiqh
dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya
dari thema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik
tertentu.5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan
bahwa hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan
atau menegakkan maslahat yang lebih besar.6. Pengetahuan tentang kaidah
merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang
bermacam-macam.
Demikian kegunaan kaidah yang disampaikan oleh Ali Ahmad al-Nadwi.
Secara sederhana, kegunaan kaidah fiqh adalah sebagai pengikat
(ringkasan) terhadap beberapa persoalan fiqh. Menguasai suatu kaidah
berarti menguasai sekian bab fiqh. Oleh karena itu, mempelajari kaidah
dapat memudahkan orang yang berbakat fiqh dalam menguasai
persoalan-persoalan yang menjadi cakupan fiqh.
Pembagian Kaidah Fiqh
Kaidah Fiqh sebagaimana dijelaskan di atas dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu :
1. Pembagian Kaidah Fiqh dari Segi FungsiDari segi fungsi Kaidah
Fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Kaidah Fiqh Inti dan Kaidah Fiqh
Pokok. Disebut Kaidah Fiqh Inti karena Kaidah Fiqh tersebut memiliki
cakupan yang begitu luas sehingga banyak furu’ yang dihadapkan
kepadanya. Kaidah ini dikenal sebagai Qawa’idul Kubra al-Asasiyah,
sebagai berikut :
Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum.Kaidah ini
mempunyai beberapa kaidah turunan yang berperan pokok, di antaranya
adalah :
Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan di kalangan pedagang seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat.
Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan nash.
Sesuatu yang diketahui oleh pedagang berdasarkan kebiasaan seperti telah disyaratkan di antara mereka.
Tidak diingkari bahwa perubahan hukum terjadi karena perubahan
zaman.Dengan demikian, Kaidah Hukum yang berfungsi marginal adalah
kaidah hukum yang cakupannya kecil atau bahkan sangat sempit sehingga
tidak dihadapkan kepada banyak furu’.
2. Pembagian Kaidah Fiqh dari Segi Mustasnayat
Dari sumber pengecualian, Kaidah Hukum dapat dibedakan menjadi dua :
yaitu Kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan kaidah yang memiliki
pengecualian. Kaidah Hukum yang tidak memiliki pengecualian adalah sabda
Nabi Muhammad saw (dalil hukum kedua) yang dianggap sebagai Kaidah
Fiqh, sebagai contoh :
Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada
tergugat.Disamping itu, Kaidah Fiqh yang hampir tidak memiliki
pengecualian, karena menurut sifatnya, ia bersifat pada umumnya, tapi
hakikat kaidah fiqh tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan adanya
pengecualian sangat kecil. Sebagai contoh adalah :
Keyakinan tidak hilang dengan keraguan.Kaidah tersebut merupakan inti dari sabda Nabi Muhammad saw :
Artinya : Apabila seseorang mendapat sesuatu di dalam perutnya
kemudian ia ragu; apakah sudah keluar sesuatu atau belum, orang tersebut
tidak boleh keluar dari masjid sebelum mendapat suara angin (kentut)
dan mendapatkan baunya.
Kaidah Fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian.
Kaidah yang tergolong pada kelompok ini adalah kaidah yang terutama
diikhtilafkan oleh ulama.
3. Pembagian Kaidah Fiqh dari Segi Kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi lima, yaitu
:a. Kaidah Kunci Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah
fiqh pada dasarnya dapat dikembangkan kepada satu kaidah, yaitu :
Menolak kemafsadatan dan mendapatkan kemaslahatan.Kaidah ini adalah
merupakan kaidah kunci karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar
manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya, ia mendapatkan
maslahat. Nilai kebenaran syari’ah (dan kaidah fiqh adalah salah satu
media untuk berupaya agar mencapai kebenaran tersebut), menurut Ibnu
Qayyim Al-Jauziyyah, adalah keadilan, rahmat, maslahat, dan mengandung
hikmah. Kaidah asasi atau yang lebih dikenal dengan Kaidah Kubra
merupakan penyederhanaan (penjelasan yang lebih mendetail) dari kaidah
inti tersebut.b. Kaidah AsasiKaidah Fiqh Asasi adalah kaidah fiqh yang
tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum Islam. Kaidah Fiqh
tersebut adalah sebagai berikut :
Perbuatan atau perkara itu bergantung pada niatnya.
Keyakinan tidak hilang dengan keraguan.
Kesulitan mendatangkan kemudahan.
Kesulitan harus dihilangkan.
Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan dan menerapkan hukum.
Lima kaidah fiqh tersebut adalah merupakan kaidah pokok yang menurut
penulis, semua masalah fiqh dapat dikembalikan kepada lima kaidah
tersebut. c. Kaidah yang diterima oleh semua aliran SunniKaidah Fiqh
yang diterima oleh seluruh aliran hukum Sunni sebagaimana disebutkan
oleh Ali Ahmad An Nadwi adalah Majallatul Ahkam al-Adliyyah. Kaidah ini
dibuat pada abad XIX M oleh Lajnah Fuqaha’
Utsmaniyah. Di antara Kaidah Fiqh yang terdapat dalam Majallatul Ahkam
al-Adaliyyah tersebut sebagaimana diinformasikan oleh Subhi
Mahmashshanni adalah sebagai berikut :
Pengikut (tetap berkedudukan sebagai) pengikut.
Hukum yang mengikut (pengikut) tidak dapat berdiri sendiri.
Siapa saja yang memiliki sesuatu (dengan sendirinya), ia memiliki bagian yang penting darinya.
Apabila pokok telah jatuh (tiada) cabang ikut jatuh pula.
Pengikut dengan sendirinya akan jatuh dengan jatuhnya yang diikut.
Cabang-cabang kadang-kadang tetap karena ketiadaan pokok.
Apabila sesuatu batal, maka yang dikandungnyapun ikut batal.
Meneruskan lebih mudah daripada memulai.
Orang yang berhak memperoleh keuntungan, berkewajiban juga menanggung kerugian.
Keuntungan sepadan dengan kerugian; dan kerugian sepadan dengan keuntungan.
Sesuatu yang haram diambil, haram pula diberikan (kepada yang lain)
Sesuatu yang haram dikerjakan, haram pula mencarinya.
Apabila terjadinya pertentangan antara cegahan dan tuntutan, yang
diutamakan adalah yang mencegah; yang menggadaikan tidak (boleh) menjual
benda yang telah digadaikan selama benda tersebut berada di tangan yang
menggadai.
Penggantian sebab kepemilikan menempati tempat pergantian zat.
Siapa saja yang tergesa-gesa (mengerjakan sesuatu) sebelum tiba waktunya, mendapatkan sanksi karena pekerjaan itu.
Pegangan dalam transaksi adalah maksud dan maknanya, bukan lafazh dan bentuknya.
Tidak (boleh) menyulitkan (orang lain) dan juga tidak boleh dipersulit (oleh orang lain)
Kesulitan harus dihilangkan.
Kesulitan tidak dihilangkan dengan kesulitan pula.
Apabila pokok batal, ia dikembalikan kepada pengganti.
Transaksi belum sempurna sebelum (benda yang diakadkan) dikuasai.
Kebijakan pemimpin atas rakyat (harus) mempertimbangkan maslahat.
Kekuasaan yang bersifat khusus lebih kuat daripada kekuasaan yang bersifat umum.
Perkataan tidak disandarkan kepada yang diam, tetapi diam bagi sikap penolakan kebutuhan adalah penjelasan.
Tulisan (surat) sepadan dengan pesan (lisan).
Kedudukan isyarat dari orang-orang yang bisu sepadan dengan penjelasan dengan lisan.
Sesuatu yang didasarkan pada perkiraan yang jelas salahnya, tidak dianggap (tidak diperhitungkan).
Sesuatu yang dihubungkan dengan syarat, ia wajib ada ketika syarat itu terpenuhi.
Pemeliharaan syarat diwajibkan selama memungkinkan.
Sewa dan penggantian (kerusakan) tidak dapat disatukan.
Pekerjaan disandarkan (dibebankan) kepada pelakunya, bukan kepada yang memerintahkan, selama tidak dipaksa.
Apabila berkumpul antara pelaksana langsung dan pelaksana secara tidak langsung, sanksi dibebankan kepada pelaksana langsung.
Kebolehan berdasarkan syara’ bertentangan dengan keharusan penggantian kerugian.
Pelaku secara langsung (harus) bertanggungjawab meskipun tidak disengaja.
Pihak yang berbuat secara tidak langsung (tidak dapat dimintai) pertanggungjawab kecuali (pekerjaan) dilakukan dengan sengaja.
Tindakan binatang tidak dapat diminta penggantian kerugian kepada pemiliknya.
Perintah untuk mengelola harta milik orang lain adalah batal.
Seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin (dari pemiliknya).
Seseorang tidak dibolehkan mengambil harta orang lain tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara’.
d. Kaidah yang diikhtilafkan di Kalangan Sunni
Kaidah ada yang diterima oleh mazhab tertentu tapi ditolak oleh
mazhab yang lain. Ikhtilaf tersebut dapat dilihat pada kasus sewa dan
pembayaran kerusakan bagi Hanafiyah dan Jumhuriyah. Menurut Hanafiyah,
sewa dan pembayaran kerusakan tidak pernah dapat disatukan,
masing-masing berdiri sendiri. Oleh karena itu, hanafiyah mengatakan
bahwa :
Sewa dan pembayaran kerusakan tidak (bisa) digabungkan.Berbeda
dengan Hanafiyah, Syafi’iyah mengatakan bahwa antara upah dan
penggantian kerusakan dapat digabungkan. Oleh karenanya Syafi’iyah
mengatakan :
Sewa dan penggantian kerusakan (dapat) digabungkan.
e. Kaidah yang diikhtilafkan Ulama yang Sealiran
Di dalam Kaidah Fiqh terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama
yang selairan. Sebagai contoh adanya perbedaan antara Muhammad dengan
Abu Yusuf yang sama-sama mazhab Hanafi. Perbedaan tersebut adalah
mengenai wangi-wangian sebelum berihram. Menurut Muhammad wangi-wangian
yang digunakan sebelum berihram – dan ketika berihram wangi-wangiannya
masih tercium – adalah boleh, karena wangi-wangian itu dipakai sebelum
berihram dan wangi-wangian yang dilarang oleh Rasul adalah wangi-wangian
ketika berihram. Oleh karena itu Muhammad berpendapat :
Sesuatu yang terjadi (dan kekal) sebelumnya, boleh dilakukan untuk
memulai yang lain.Abu Yusuf berbeda pendapat dengan Muhammad. Menurut
Abu Yusuf, menggunakan wangi-wangian ketika berihram dilarang oleh
Rasul. Oleh karena itu, menggunakan wangi-wangian sebelum berihram – dan
wanginya masih tercium ketika berihram – tidak dibolehkan. Atas dasar
itu, Abu Yusuf membuat kaidah :
Sesuatu yang terjadi (dan kekal) sebelumnya tidak boleh dilakukan untuk memulai yang lain
Kesimpulan
1. Kaidah Fiqhiyah (hukum) adalah dasar-dasar yang bertalian dengan
hukum syara’ yang bersifat mencakup (sebahagian besar
bahagian-bahagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang
ringkas (singkat padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum
pada peristiwa-peristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.
2. Sejarah Perkembangan Kaidah Fiqhiyah mengalami tiga fase, yaitu
Fase Pertumbuhan dan Pembentukan (1-3 H); Fase Perkembangan dan
Kodifikasi (4 – X H); dan Fase Kematangan dan Penyempurnaan (XI –
H-Kini).
3. Kaidah Fiqhiyah memiliki kegunaan yang sangat besar bagi ahli
fiqh sebab kaidah fiqh adalah sebagai pengikat (ringkasan) terhadap
beberapa persoalan fiqh. Menguasain suatu kaidah berarti menguasai
sekian bab fiqh.
4. Kaidah Fiqhiyah dapat dibagi kepada tiga bahagian besar, yaitu
Kaidah Fiqh dari segi fungsinya; Kaidah Fiqh dari segi Mustasnayatnya
(pengecualaiannya); dan Kaidah Fiqh dari segi Kualitasnya.
Penutup
Demikianlah makalah ini kami sampaikan sebaaagai bahan bagi kita
untuk berdiskusi lebih lanjut dalam rangka meningkatkan pemahaman dalam
bidang Filsafat Hukum Islam.***
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Asjmuni, Prof. Drs. H., Qawa’id Fiqhiyah : Arti,
Sejarah dan Beberapa Qaidah Kulliyah, (Yogyakarta : Suara Muahammadiyah,
2003).Al-Jauziyyah, Ibnu Qoyyim, I’lamu al-Muwaqqi’ien ‘An Rabbi
al-‘Alamien, (Beirut : Darul Jail, t.t), III.
An-Nadwi, Ali Ahmad, Al-Qowa’idul Fiqhiyah, Mafhumuha, Nisya’atuha,
Tathowwuruha, dirasatu Muallifatiha, adillatuha, Muhimmatuha,
Tathbiqatuha, (Damaskus, Daru al-Qalam, 1414 H / 1994 M).Mahmashshanni,
Subhi, Falsafatu al-Tasyri’ al-Islami, (Beirut : Darul ‘Ilmi Lil
Malayin, 1961).Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh, Sejarah dan Kaidah Asasi,
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002).Mujib, Abdul, Drs. H.,
Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih : Al-Qawa’idul Fiqhiyyah, (Jakarta : Kalam
Mulia, 2004). Usman, Muchlis, Drs. MA. H., Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan
Fiqhiyah : Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2002).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar